BAB I
LATAR BELAKANG
A.
LATAR
BELAKANG
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling
banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma
nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas, sedangkan daerah kepala dan
leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari Fossa Rosenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi skuamosa (Asroel, 2002 )
Gejala karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering
samar-samar sehingga membingungkan pemeriksa. Kendala yang dihadapi dalam
menangani kasus karsinoma nasofaring adalah pasien datang dalam stadium yang
sudah lanjut, bahkan dalam keadaan umum yang jelek. Hal ini karena terlambatnya
diagnosa ditegakkan, maka sangatlah penting untuk menemukan dan menegakan
diagnosis secara dini (Arima, 2006)
B.
EPIDEMOLOGI
Insidens karsinoma nasofaring tertinggi
di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan. Khususnya suku
Kanton di propinsi Guang Doang dengan angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk
pertahun. Insidens karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak
dijumpai imigran Cina, misalnya di Hongkong, Amerika serikat, Singapura,
Malaysia dan Indonesia. Sedangkan insidens yang terendah pada bangsa kaukasian,
Jepang dan India.
Penderita Karsinoma nasofaring lebih
sering dijumpai pada pria disbanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit
ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif ( 30-60 tahun). Dengan
usia terbanyak adalah 40-50 tahun.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana
karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari
fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana
epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Survey yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathologi
based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring per 100.000
penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.
C.
TUJUAN
1. Tujuan
Umum
Setelah mendapat pendidikan
kesehatan maka masyarakat dapat memahami tentang penyakit ca nasofaring
2. Tujuan
Khusus
Setelah menerima pen-kes masyarakat
mampu :
1. Menjelaskan pengertian ca nasofaring
2. Menjelaskan Penyebab dari ca
nasofaring
3. Menjelaskan Pencegahan ca nasofaring
4. Menjelaskan Tanda dan gejala ca
nasofaring
5. Menjelaskan Penanganan ca nasofaring
6. Menjelaskan Komplikasi ca nasofaring
D.
METODE PENULISAN
Bab I Pendahuluan (latar belakang, epidemologi,tujuan,metode penulisan,metode
pembelajaran,alat bantu)
Bab II pembahasan (pengertian,anatomi,etiologi,histologi,klasifikasi,pemeriksaan
penunjang,stadium,manifestasi klinis,penatalaksanaan,pencegahan,komplikasi)
Bab III Penkes
Bab IV Penutup (kesimpulan,saran)
E.
METODE PEMBELAJARAN
1. Ceramah
2. Tanya jawab
F.
ALAT BANTU
1. Lifleat
2. Flifchart
3. Makalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller
dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001
hal 146).
B.
ANATOMI
NASOFARING
Nasofaring letaknya tertinggi di
antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di sebelah do sal dari cavum
nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane. Nasofaring tidak bergerak,
berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang
dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas
sebagai berikut :
Atas
: Basis
kranii.
Bawah
: Palatum mole
Belakang
: Vertebra servikalis
Depan
: Koane
Lateral
: Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
C.
ETIOLOGI
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan
komsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbunya penyakit ini.
Virus tersebut dapat masuk kedalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan
virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin
secara terus menerus muali dari masa kanak-kanak, merupakan mediator uatama
yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator
di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :
1.
Nitrosamin
yang banyak terdapat pada ikan asin, makanan yang diawetkan
2.
Keadaan
sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup
3.
Sering
kotak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
a. Benzopyrenen
b. Benzoanthracene
c. Gas kimia
d. Asap industry
e. Asap kayu
f. Beberapa ekstrak tumbuhan
g. Ras dan keturunan
h. Radang kronis daerah nasofaring
i.
Provil
HLA
D.
HISTOPATOLOGI
Klasifikasi gamabaran histopatologi yang direkomendasikan
oleh organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sbelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe,
yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini daoat dibagi
lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non –keratinisasi (Non
keratinizing Carcinoma)Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak
ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel
cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi
(Undiffrentiated Carcinoma)Pada tipe ini sel tumor secara individu
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat yang jelas. Pada
umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
E.
KLASIFIKASI
Sesuai
dengan klasifikasi karsinoma nasofaring:
1. Karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya.
2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak
ada difrensiasi skuamosa.
3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel
mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas;
tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a.
Nasofaringoskopi
b. Rinoskopi
posterior dengan atau tanpa kateter
c.
Biopsi
multiple
d. Radiologi :Thorak PA, Foto
tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila dicurigai metastase
tulang)
e.
Pemeriksaan
Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang
menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari
saraf yang dikenai.
G.
PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE (T)
|
|
T
|
Tumor primer
|
T0
|
Tidak tampak tumor
|
T1
|
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
|
T2
|
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi
atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga nasofaring
|
T3
|
Tumor telah keluar dari rongga
nasofaring
|
T4
|
Tumor teah keluar dari nasofaring
dan telah kmerusak tulang tengkorak atau saraf-saraf otak
|
Tx
|
Tumor tidak jelas besarnya karena
pemeriksaan tidak lengkap
|
REGIONAL LIMFE NODES (N)
|
|
N0
|
Tidak ada pembesaran
|
N1
|
Terdapat pembesarantetapi homolateral
dan masih bisa digerakkan
|
N2
|
Terdapat pembesaran kontralateral/
bilateral dan masih dapat digerakkan
|
N3
|
Terdapat pembesaran, baik
homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan
sekitar
|
METASTASE JAUH (M)
|
|
M0
|
Tidak ada metastase jauh
|
M1
|
Metastase jauh
|
-
Stadium I : T1 No dan Mo
-
Stadium II : T2 No dan Mo
-
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1
dan Mo atau T3 dan No dan Mo
-
Stadium IV : T4 dan No/N1
dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo atau T1/T2/T3/t4 dan
No/N1/N3/N4 dan M1
H.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4
bagian, yaitu antara lain :
1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang
gejala belum ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor)
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara
tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran
melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga
dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik
dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.
I. PENATALAKSANAAN
1.
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang
peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring adalah radioterapi
dengan atau tanpa kemoterapi
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebaga terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternya dapat meningkatan hasil terapi, terutama diberikan pada stadium lanjut
atau pada keadaan kambuh.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih
ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologi dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring
dapat diberikan imunoterapi.
J.
PENCEGAHAN
Pemberian vaksin (EBV)pada penduduk dengan resiko tinggi
dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian penyakit ini pada daerah
tersebut
K.
KOMPLIKASI
Sel-sel
kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
BAB III
PENDIDIKAN KESEHATAN
1. Menjelaskan pengertian dari ca
nasofaring
2. Menjelaskan Penyebab dari ca
nasofaring
3. Menjelaskan Pencegahan ca nasofaring
4. Menjelaskan Tanda dan gejala ca
nasofaring
5. Menjelaskan Penanganan ca nasofaring
6. Menjelaskan Komplikasi ca nasofaring
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Carsinoma nasofaring adalah
keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau
kelenjar yang terdapat di nasofaring. Yang disebabkan oleh Virus Epstein Barr
dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus
ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.
B.
Saran
Diagnose dini
perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan hidung tersumbat
keluhan kurang dengar sakit kepala dan penglihatan dobel.sebagai gejala lanjut
ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan syaraf otak
Bila dijumpai
gejala seperti yang disebutkan diatas maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan
lengkap sampai carcinoma nasofaring dapat dihilangkan
Bagi para
penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggidiharapkan melalukan vaksinasi virus
EBV
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku
Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Doenges,
M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Roezin
Averdi. 2004. Ilmu Penyakit
Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta: FKUI.
Roezin,
Averdi. 2003. Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta: FKUI.
Schrock,
Theodore. 1995. Ilmu Bedah (Handbook Of
Surgery). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat.
2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sloane,
Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk
Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suyatno.
2010. Bedah Onkologi Diagnostik dan
Terapi. Jakarta: Sagung Seto.